Cari Blog Ini

Minggu, 21 November 2010

Seputar Filsafat Analitik

Latar Historis

Pada abad 18-20 di Eropa berkembang dua aliran besar filsafat, yaitu idealisme dengan tradisi Jerman dan empirisme di Inggris. Kemudian pertengahan abad ke-19 masuklah idealisme ke Inggris dalam rangka perlawanan terhadap empirisme, yang disebut dengan neoidealisme atau neohegelianisme. Hal tersebut merupakan reaksi atas materialisme dan positivisme yang merajalela di Eropa pada waktu itu khususnya atas filsafat John Stuart Mill yang menguasai generasi para filosof Inggris sebelum munculnya idealisme.

Masuknya hegelianisme ke Inggris bertujuan untuk memulihkan kembali kepercayaan-kepercayaan akan kebebasan jiwa dan kehendak atau kepercayaan agama Kristen sebagai agama yang diwahyukan, yang sebelumnya selama berabad-abad telah dihilangkan kepercayaan terhadap agama oleh filsafat empirisme.

Filsafat neoidealisme tidak dapat bertahan lama, yang kemudian digantikan oleh neorealisme yang lebih kepada penyelidikan bahasa. Dalam pandangan para filosof analitik, analisis linguistik (bahasa) merupakan satu-satunya aktivitas yang sah. Tokoh yang melancarkan kritikan pedas adalah George Edward Moore. Moore berkeyakinan bahwa banyak masalah kefilsafatan sesungguhnya merupakan masalah-masalah semu, yang kiranya segera akan hilang, manakala orang secara cermat mempertimbangkan apakah sebenarnya yang dimaksud oleh masalah-masalah tersebut.

Menurut Moore, common language atau bahasa sehari-hari merupakan sumber akal sehat yang sudah mencukupi, karena itu filsafat itu filsafat harus berpihak kepada akal sehat dan alatnya adalah analisis bahasa.

Atomisme Logis Russell

Teori atomisme logis Russell didasari oleh tiga tujuan filsafat menurut Russell, yaitu: Pertama, mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana, yaitu dengan merumuskan suatu sintesis. Kedua, menghubungkan logika dan matematika. Russel menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti (eksak) dan jurusan sastra tidak dipisahkan. Ketiga, analisis bahasa.

Bahasa logika menurut Russell akan sangat membantu terhadap aktivitas analisis bahasa. Sebab ia berkeyakinan bahwa teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika akan mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas. Menurutnya, tugas dari filsafat pada dasarnya merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang fakta-fakta. Analisis logis ialah pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi apriori, yaitu kebenaran yang sudah diketahui kebenarannya sebelum dilakukan suatu percobaan atau penelitian. Sedangkan sintesis logis ialah suatu proses menentukan makna pernyataan atas dasar empirik. Russell lebih mendahulukan analisis logis ketimbang sintesis logis.

Wittgeinstein I: Meaning is picture

Pemikiran filsafat Wittgeinstein sama halnya dengan Russell yang berpijak pada bahasa logika. Menurut Wittgeinstein, bahasa logika yang sempurna adalah mengandung aturan-aturan tata kalimat (sintaksis) tertentu, sehingga dengan begitu ia mampu mencegah ungkapan-ungkapan bahasa yang tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas keberadaannya.

Teori meaning is picture menurut Wittgeinstein memiliki arti bahwa terdapat relasi yang erat antara bahasa (dunia simbol) dengan dunia fakta di luar bahasa. Dengan teori ini pula, dapat diterangkan bahwa bahasa kita bermakna, sebab yang mengandung makna hanyalah hal-hal yang dapat diverifikasi secara empirik. Adapun Wittgeinstein mengatakan, empat hal yang melampaui batas-batas bahasa, yaitu subyek, kematian, Allah, dan bahasa itu sendiri.

Positivisme Logis

Terdapat lima asumsi yang dijadikan dasar pijakan bagi konstruksi positivisme logis, di antaranya:

  1. Realitas Objektif: hanya ada satu realitas yang dapat diketahui sepenuhnya melalui pengalaman.
  2. Reduksionisme: asumsi yang menyatakan bahwa kita dapat mengetahui dunia dengan cara mereduksi (memecah-mecah) ke dalam bagian-bagian kecil.
  3. Asumsi bebas nilai: asumsi yang ada dalam sains. Antara pengamat dan yang diamati memiliki jarak, terpisah, karena itu setiap penelitian ilmiah bebas nilai.
  4. Determinisme: alam ini berada dalam lingkup aturan yang bersifat determinis atau pasti dan linier. Itulah hukum kausalitas.

Logika-empirisme: suatu proposisi dapat dikatakan bermakna, jika proposisi tersebut dapat dikatakan bermakna, jika proposisi tersebut dapat diverivikasi dengan pengalaman inderawi.

Tidak ada komentar: