Cari Blog Ini

Rabu, 24 November 2010

Lirik Lagu "Baboreseo/because i'm fool" by Jung Yong Hwa

Korea
nan pa bo ra so gu ron ga bwa
a pu ge he do gwen chan hun ga bwa
mot nan sa rang i ra no lyo de do
o jol su om nun pa bo ra so

ne ga won he jal he jwot don gol
gu gom a nu ro heng bok het don gol
han bo ni ra do u so ju myon
gu mi so ro heng bok hae

gu nyo ga sa rang han sa ram op get da ji
i rok e gu nyo gyo te so i sul pu nya
jul su i so heng bok ha sa rang i ra
a mu got do ba ra ji an a

on je dun so ne mi nyon da hul gu go se
on je dun bu lo ju myon du lil gu go se
pyon ham ob shi gu go se i so jul ge
gu nyo sa rang ha ni ka

na ega taek han sarang i ra seo
apeum kka jido haeng bok haet deongeol
han beon i rado dora bwa ju myeon
nan geu geol lo haeng bok hae

gu nyo ga sa rang han sa ram op get da ji
i rok e gu nyo gyo te so i sul pu nya
jul su i so heng bok ha sa rang i ra
a mu got do ba ra ji an a

on je dun so ne mi nyon da hul gu go se
on je dun bu lo ju myon du lil gu go se
pyon ham ob shi gu go se i so jul ge
gu nyo sa rang ha ni ka

na daesin ji kyeo jur saram olttaekka ji
jam si man geunyeo gyeot e seo isseulkkeo ya

barabwa do haeng bok han sarang i ra
amu geot do pir yo chi anh a
eon je na gi dae yeo seo swilsu itdorok
eon je na gateun moseub eu ro iss eul kke

insado eops i nar tteo na gan dae do
gam saha myeo bo nael kke

nan baboraseo


versi Inggris
I must be like this because I'm a fool
It seems alright even when I'm hurt
Even when I'm teased about my pitiful love
Because I'm a fool beyond help..

I was good to her because I wanted to be
I was happy with just that
If she smiles just once
I'm happy with that smile

Thinking "This girl doesn't have a person she likes"
I simply stay by her side like this
Because this is a love where I'm happy to be giving
I don't expect anything in return..

A place from where I can reach her any time she holds out her hand
A place from where I can visit her any time she calls for me
I'll stay there without changing
Because I love her

Because she was the one I chose
Even the pain made me happy
If she looks back at me just once
I'm happy with that..

Thinking "This girl doesn't have a person she likes"
I simply stay by her side like this
Because this is a love where I'm happy to be giving
I don't expect anything in return

A place from where I can reach her any time she holds out her hand
A place from where I can visit her any time she calls for me
I'll stay there without changing
Because I love her..

Until someone else to watch over her in my place arrives
I'll stay by her side for the time being
Because this is a love where I'm just happy to gaze at her
I don't need anything in return
So that she can lean on me and rest any time

I'll always appear the same
Even if she leaves me without saying goodbye
Because I'm a fool

Lirik Lagu "Sarang Ha Myeon An Doe Ni-Can't I Love You" by Kim Nam Gil


Korean
a pa do nan a peun jur mol la
o ji anh neun neor gi da ryeo do
geu ri um i him gyeo wo
, hwi cheong geo ryeo do, nan him deun jur mol la

neor nae an e dun geu nal bu teo
ma eum eur na nwo sseur jur mo reu go
da chi go
, meong deur eo do si rin ga seum eur
dad eur jul do mol la

sseul sseul han se sang e
, na reur sal ge ha go
ut ge ha neun geon
. neo ha na ppun in de

c/o sarang ha myeon an doe ni, nae ge o myeon an doe ni
       han beon man han beon  man an a bo myeon an doe ni
       nae jeon bu reur da geor eo gat go sip eun sa ram i iss eo
       nae mam bad a ju myeon an doe ni

ji dok han oe ro um
, geu sog e do nae ga, sum eur swi neun geon
da neo ttae mun in de

sarang ha myeon an doe ni
, nae ge o myeon an doe ni
han beon man han beon man
, an a bo myeon an doe ni
nae jeon bu reur da geor eo gat go sip eun sa ram i iss eo
cheo eum i ja ma ji mag eu ro

sa neun dong an nae pum e
, dor a or su eops eo do
nae ga ne ga seum e
, ji wo jyeo beo ryeo do

sarang ha myeon an doe ni
, neo ui dwi e seo ra do
meol li seo meol li seo
, ba ra bo myeon an doe ni
neo ui geu rim ja ra do nan ji kyeo jur su it da myeon
geu rae geu geo ra do
, gwaen chanh a, honja sarang haedo, gwaen chanh a

English
Even it is so painful, I can't feel it
Even I'm waiting for you and you wouldn't come
Even I think of you with shaking so badly, I can't feel it

Since the day I put your heart in my mind
I can't put my heart else where
Even if it hurts and breaks my heart apart, I won't close my heart

I am who was living in a lonely world
You're the only one who can make me smile

Can't I love you? Can you come to me?
Just for once, can you hug me in you arms?
You're the only one I love
Can't you accept my heart?

The reason why I'm still breathing in this terrible loneliness
It's all because of you

Can't I love you? Can you come to me?
Once again, can you hug me in your arms?
You're the only one I love
For the first time and last time

Even you're alive, you can't be held in my arms
Even you throw my heart away from your mind

Can't I love you? Even if I'm just behind your back
Distantly, I just can look at you from afar
Even if I just can protect your shadow
Even like this, it's alright.. even only I love you, it's okay...
 

>buat yang mau lagunya  :
download-KimNamGil-Sarang ha myeon an doe ni

Minggu, 21 November 2010

Biografi Taufiq eL Hakim

Dr. Taufiq El Hakim, sastrawan besar dengan reputasi internasional ini, lahir, bertumbuh dan besar di Mesir. Ia dilahirkan pada musim panas, 1903 di Dahiyatur-Raml, Iskandaria, Mesir. Ayahnya, Ismail Beik El Hakim adalah seorang petani kaya raya. Adapun ibunya adalah perempuan cantik putri perwira tinggi Turki.

Ketika terjadi pergolakan nasional di Mesir, pada tahun 1919, Taufiq sempat dijebloskan ke penjara karena turut terlibat di dalamnya bersama pamannya, Hasan. Taufiq terlibat dalam pergolakan itu di bawah pimpinan Sa'd Zaglul. Penjara rupa-rupanya menjadi guru terbaik Taufiq dalam mengembangkan pola pikir dan imaji-kreatifitasnya. Sehingga selepas keluar dari penjara, ia pun bersungguh-sungguh mengembangkan bakat menulisnya. Ia menulis apa saja yang ada di batok kepalanya.

Pada tahun 1920, Taufiq memperoleh ijazah kafaah (kredibel), kemudian pada 1922 ia memperoleh ijazah sarjana muda, dan pada tahun 1925 ia memperoleh ijazah penuh dalam bidang hukum sebagaimana impian ibunya. Selama studi hukum itu, Taufiq biasa menulis naskah drama untuk dimainkan oleh Teater Uzbek.

Usai memperoleh gelar sarjana penuh di bidang hukum, Taufiq sempat memperdalam lagi studi hukumnya di Perancis, selama kurang lebih tiga tahun, dan kembali ke Mesir pada tahun 1928. Sepulangnya dari Perancis, Taufiq bukannya meniti karier secara serius di bidang hukum, ia malah kian hobi menulis naskah drama dan kemudian mementaskannya dengan kelompok-kelompok teater yang dibentuknya.

Pementasan naskah dramanya berjudul "Ahlul Kahfi" (Penghuni Gua) yang terilhami dari Al-Quran surat Al-Kahfi, pada tahun 1932, begitu menggemparkan Mesir karena dianggap sebagai pelopor drama kontemporer di Mesir.

Tak kurang pengamat sastra Thaha Husein dalam harian Al Wadi', menyejajarkan karya tersebut dengan karya sastrawan Barat. Semsntara harian Al Balag, menyejajarkan karya itu dengan karya sastrawan Belgia yang memperoleh Nobel sastra pada 1911, Maurice Masterlinck. Sejak itulah nama Taufiq el Hakim dikenal luas oleh publik Mesir.

Nama Taufiq semakin melambung ke puncak tangga popularitas, ketika dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1934, ia mengeluarkan naskah drama yang berjudul "Syahrazad" (Kisah Seribu Satu Malam). Naskah ia banyak mendapat tanggapan dari kalangan sastrawan. Tak selang berapa lama kemudian, novel perdananya, "Audaturruuh" (kembalinya Sang Arwah) pun meluncur di pasaran. Novel itu pun mendulang sukses besar. Kapasitasnya sebagai novelis segera diakui banyak kalangan.

Kesuksesan di bidang sastra itulah, yang kemudian membuat Taufiq berfikir ulang tentang kariernya. Pada tahun 1935, ia mengundurkan diri dari tempat kerjanya di Derpatemen Kehakiman, dan ia beralih ke Departemen Pendidikan, karena di bidang yang terakhir inilah ia merasa menemukan kecocokan. Tapi di Departemen Pendidikan ini ia hanya bertahan selama tiga tahun. Ia kemudian pindah ke Departemen Sosial pada tahun 1939, dan empat tahun kemudian mengundurkan diri pada tahun 1943. Semenjak kemundurannya dari Departemen Sosial ini, ia bertekad mengabdikan dirinya hanya di bidang sastra yang begitu dicintainya dan telah membesarkan namanya.

Pada tahun 1950, Taufiq diangkat sebagai Direktur Pustaka Nasional Mesir. Lima tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1955, Taufiq diangkat menjadi anggota dewan redaksi harian paling terkemuka di Mesir, Al Ahram, duduk bersama Najib Mahfouz, Dr. Louis Us, dan Dr. Aisha Abdurrahman. Pada tahun 1955 itu pula oleh rekan-rekannya diminta bergabung di Jamiyyatul Udaba Mesir, bersama dengan sastrawan terkemuka lainnya, semisal Dr. Thaha Husain, DR. Husain Fauzi, Mahmoud Taimur, Yahya haqqi, Kamil El Sanawi, Yusuf El Sibai, Najib Mahfouz, Ihsan Abdul Quddus, Abdurrahman El Sharqawi, dan Ahmad Bahauddin.

Perjalanan Taufiq ternyata tak cukup sampai di situ. Pada tahun 1956 ia diangkat menjadi anggota Majelis Tinggi Sastra dan Seni, dan akhirnya pada tahun 1959 ia menjadi wakil Mesir di UNESCO.

Singkat kata, Taufiq El Hakim meninggal dunia pada tahun 1987 dengan mewariskan lebih dari 60 naskah drama Arab modern, 2 kumpulan cerpen dan 20 novel yang bermutu tinggi.


 

Sumber: Taufiq El Hakim (Penyunting: Anif Sirsaeba), Dalam Perjamuan Cinta; Cerpen-Cerpen Pilihan Dunia Islam, Penerbit Republika, 2008,

Ragam Pengkajian Sastra

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sastra ialah studi kegiatan kreatif, sebuah karya seni.. Pendefinisian sastra tidak mungkin di definisikan secara jelas, tetapi tergantung kebudayaan dan keadaan sosial di lingkungan sekitar. Seperti yang dikemukakan oleh Jakob Sumardjo bahwa batasan pada sastra sulit dibuat karena beberapa hal, yang salah satunya ialah karena sastra adalah seni, bukan ilmu. Dalam seni banyak unsur kemanusiaan, khususnya perasaan sehingga sulit diterapkan untuk metode keilmuan. Akan tetapi, dengan adanya unsur kemanusiaan tersebut, sastra menarik untuk diteliti dan dianalisis.

Karya sastra atau wujud dari sastra itu sendiri, seringkali tidak mampu dinikmati dan difahami sepenuhnya oleh sebagian pembacanya. Dalam hubungan ini perlu adanya penelaah dan peneliti sastra. Hal tersebut juga didasarkan terbaginya studi sastra menjadi tiga bagian. Yaitu, teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Dalam kritik sastra, kita malakukan penilaian dan pengkajian terhadap karya sastra. Penilaian tersebut tidak bisa dilakukan dengan baik tanpa adanya pengetahuan tentang sastra dan karya sastra itu sendiri. Pengetahuan tentang apa itu sastra dan bagaimana suatu tulisan disebut karya sastra dipelajarai melalui teori sastra. Sedangkan bagaimana awal lahir dan perkembangan sastra di dunia dapat diketahui melalui sejarah sastra.


 

  1. Karya Sastra sebagai Objek Penelitian

    Pada prinsip dasar kritik sastra ada yang disebut dengan kritik, mengkritik dan kritikus. Kritik merupakan analisis untuk menilai sesuatu karya seni. Karya seni yang dimaksud ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan seni. Pada dasarnya kritik merupakan penilaian. Seseorang yang melakukan kegiatan kritik disebut dengan kritikus, sedangkan kritikus melakukan kegiatan kritik atau disebut juga mengkritik terhadap suatu objek kritikan. Objek seorang kritikus ialah karya seni, yang dalam hal ini dikhususkan pada karya sastra.

    Kritik lahir dari adanya pertanyaan setelah menikmati karya sastra, baik itu datang dari seorang sastrawan ataupun masyarakat biasa sebagai penikmat sastra. Karya sastra merupakan hasil proses kreatif seorang sastrawan. Pada proses kreatif tersebut, tidak semata-mata hanya membutuhkan sebuah keterampilan, akan tetapi aspek pengalaman hidup, intelektual, wawasan keilmuan terutama kesusastraan, juga kejujuran sangat dibutuhkan dalam pembuatan karya sastra. Oleh karena itu, semakin banyak aspek pendukung maka karya yang dihasilkan pun akan semakin bernilai.

    Suatu karya sastra atau objek penelitian sastra akan memiliki nilai apabila ada seseorang yang dapat menilainya, dan hal inilah yang disebut dengan kritik sastra.


 

  1. Ragam Pengkajian Sastra

    Dalam mengkritik sebuah karya sastra, terdapat ragam atau bentuk pengkajiannya. Ragam pengkajian sastra dan hubungannya dengan kritik sastra dapat dibedakan beberapa macam, antara lain sebagai berikut:

    1. Kritik Sastra dan Esai

    Esai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas dari sudut pandang pribadi penulisnya. Dalam esei unsur pemikiran lebih menonjol dibandingkan unsur perasaan. Esei lebih banyak menganalisis fakta dengan pemikiran yang logis. Namun, meskipun lebih menonjolkan sisi pemikiran dibandingkan perasaan, bentuk karangan esei tergambarkan adanya sikap pengarang yang akrab terhadap pembaca. Jadi, pada intinya membaca sebuah esei seperti mendengarkan penulisnya berbicara akrab dengan pembaca.

    Pada pembagian genre sastra, esei termasuk genre sastra non imajinatif. Meskipun bagian dari sastra, akan tetapi esei tidak usah selalu berbicara tentang sastra, sebuah esei dapat berbicara tentang apa saja. Sebuah esei dapat membicarakan tentang semut, sebuah candi, pemandangan alam, seorang pribadi, negara, masyarakat, dan sebagainya.

    Sesuai dengan pengertiannya, esai menggambarkan kepribadian pengarang. Pada intinya esai bukanlah suatu pemecahan terhadap suatu masalah, akan tetapi hanya mengemukakan suatu fakta permasalahan. Syarat sebuah esai ialah uraiannya pendek, berbentuk prosa, bersifat subjektif, tetapi harus bersifat menerangkan dan mengajar.

    Esai dapat digolongkan menjadi dua, yakni esai formal dan esai non formal atau esai personal. Jenis esai personal inilah yang yang biasanya disebut karya sastra. esai formal ditulis dengan bahasa yang lugas dan dalam aturan-aturan penulisan yang baku, sedang unsur pemikiran analisisnya amat dipentingkan. Pada esai personal, gaya bahasa lebih bebas dan unsur pemikiran serta perasaan lebih leluasa masuk ke dalamnya.

    Menurut cara mengupas sesuatu fakta, esai dibagi empat bagian.

    1. Esai Deskripsi

    Dalam esai hanya terdapat penggambaran sesuatu fakta seperti apa adanya, tanpa ada kecenderungan penulisnya untuk menjelaskan atau menafsirkan fakta. Esai ini bertujuan "memotret" dan "melaporkan" apa yang diketahui oleh penulisnya tanpa usaha komentar terhadapnya.

    1. Esai Eksposisi

    Dalam esai penulis tidak hanya menggambarkan fakta, tetapi juga menjelaskan rangkaian sebab-akibatnya, kegunaannya, cacat celanya dari sudut tertentu, pokoknya dalam esai ini penulis dapat menjelaskan fakta selengkap mungkin.

    1. Esai Argumentasi

    Esai yang bukan hanya menunjukkan suatu fakta, tetapi juga menunjukkan permasalahannya dan kemudian menganalisisnya dan mengambil suatu kesimpulan dari padanya. Esai ini bertujuan memecahkan sesuatu masalah yang berakhir dengan kesimpulan penulisnya.

    1. Esai Narasi

    Esai yang menggambarkan sesuatu fakta dalam bentuk urutan yang kronologis dalam bentuk cerita, misalnya esai tentang pertemuan seorang sastrawan Indonesia selama seminggu dengan seorang sastrawan dunia yang berkunjung ke Indonesia.

    Sebuah esei yang baik adalah esei yang terorganisir secara rapi dan baik sehingga mudah dan enak dibaca, memeberikan kejelasan dan tantangan imajinasi pembacanya.

    Antara esai dan kritik memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak adanya suatu penilaian terhadap suatu karya, dan dalam poin ini dikhususkan pada sastra. Tetapi, perbedaan dari keduanya lebih menonjol. Esai hanya mengemukakan suatu persoalan untuk penyelesaiannya diserahkan kepada pembaca, sedangkan kritik merupakan penilaian terhadap sebuah karya sastra melalui suatu proses dengan menggunakan kriteria tertentu, sehingga dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan serta kelebihan-kelebihan dari sebuah karya sastra dengan mengemukakan alasan-alasannya dan mengusulkan perbaikan-perbaikannya.


     

    1. Kritik Sastra dan Sorotan

    Sorotan berasal dari kata sorot ditambah akhiran –an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sorot diartikan sebagai pancaran sinar (cahaya) atau penyelaan urutan kronologis di dalam karya sastra. Sorotan berarti pancaran atau serangan yang diberikan pada suatu benda yang memiliki sumber. Ketika sorotan dikaitkan dengan kritik sastra, hubungannya ialah bahwa jika kita mengkritik suatu karya berarti kita mengeluarkan argumen dan persepsi kita terhadap karya tersebut, dan argumen-argumen yang diberikan merupakan bentuk sorotan dalam kritik sastra terhadap suatu karya sastra. Sorotan juga digunakan oleh sebagian sastrawan sebagai istilah dari kritik sastra


     

    1. Kritik Sastra dan Resensi

    Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Istilah resensi dalam kamus diartikan sebagai pertimbangan atau pembicaraan buku. Pada pengertian-pengertian secara umum, resensi sering dikaitkan dengan objek resensi sebuah buku. Akan tetapi, Daniel Samad mengatakan bahwa bidang garapan resensi cukup luas. Namun, kebanyakan orang hanya mengambil buku sebagai objek resensi. Bidang garapan resensi dibagi tiga, yaitu yaitu (a) buku, baik fiksi maupun nonfiksi; (b) pementasan seni, seperti film, sinetron, tari, drama, musik atau kaset; (c) pameran seni, baik seni lukis, maupun seni patung.

    Merensi pada hakikatnya melakukan penilaian. Menilai berarti mengulas, mempertimbangkan, mengkritik, dan menunjukkan kelebihan-kelebihan serta kekurangan-kekurangan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, meresensi merupakan satu bentuk pengkajian sastra. Dan dari segi tujuannya, meresensi hampir sama dengan kritik. Akan tetapi, kritik sastra merupakan kegiatan yang menghakimi melalui teori-teori, prinsip-prinsip sastra, tidak hanya sekedar meresensi.


     

    1. Kritik Sastra dan Apresiasi

    Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti "mengindahkan" atau "menghargai". Dalam konteks yang luas, istilah apresiasi menurut Gove yang dikutip Aminuddin mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Adapun kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris appreciation yang berarti pemahaman dan pengenalan yang tepat; pertimbangan dan penilaian serta pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby). Sedangkan menurut Echols berarti penghargaan dan pengertian.

    Pengertian lainnya dapat kita lihat Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain sebagai berikut:

  • Kesdaran terhadap nilai dan budaya
  • Penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu
  • Kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah

Dari beberapa pengertian diatas, kita mengetahui bahwa apresiasi berhubungan dengan nilai. Dan nilai itu sendiri ialah harga dari sesuatu. Mengapresiasi sastra berarti menghargai adanya karya sastra itu, memberikan nilai sesuai dengan isi dan kualitas karya sastra tersebut. Penilaian antara seorang yang mengapresiasi karya sastra akan berbeda dengan yang lainnya, karena pada dasarnya memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra bergantung pada kemampuan orang yang mengapresiasi karya tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Atmazaki dalam Analisis Sajak,

Pertama, apresiasi merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang, baik kegiatan mental atau kegiatan fisik, dalam merespon sesuatu. Seseorang melakukan kontak dengan sesuatu itu sehingga ada efek, ada resepsi, dan ada persepsi terhadap sesuatu itu.

Kedua, apresiasi merupakan kegiatan memberikan pertimbangan terhadap objek yang diapresiasi dengan pertimbangan terimplisit unsur penilaian.

Ketiga, kegiatan merespon dan menilai itu tidak dapat dilakukan kalau seseorang tidak mempunyai kemampuan apresiasi, betapapun relatifnya. Jadi, hanya orang yang mempunyai apresiasi sastralah yang mampu melakukan apresiasi sastra. Sebagai konsekuensinya, apresiasi seseorang tidak sama dengan apresiasi orang lain karena merespon dan menilai adalah dua kegiatan yang sifatnya sangat pribadi. Lantas dapat dipastikan bahwa ada apresiasi orang yang tinggi ada pula yang rendah, ada yang luas ada yang sempit.

Apresiasi seseorang tidak mungkin langsung tinggi atau luas, melainkan berangsur-angsur dari taraf yang rendah sampai ke taraf yang paling luas.

Hakikat dari apresiasi ialah menilai, sama halnya dengan kritik. Akan tetapi, mengkritik tidak cukup hanya menilai saja karena ada kalanya mengkritik memberikan fakta persoalan tentang objek penelitiannya yang kemudian mencoba pula untuk memberikan solusinya. Apresiasi merupakan hal yang dilakukan seseorang ketika akan mengkritik. Jadi, kritik sastra merupakan bentuk apresiasi seorang kritikus.


 

  1. Kritik Sastra dan Penelitian Sastra

Dalam mengkritik, berarti memberi nilai, menghakimi, menganalisis. Analisis disebut juga dengan penelitian. Pada hakikatnya, arti mengkritik ialah kita mendalami menelaah suatu karya sastra melalui berbagai teori dan prinsip sehingga menghasilkan suatu perspektif terhadap karya sastra.

Penelitian sastra adalah telaah sastra. Penelitian sastra termasuk kritik sastra ilmiah/akademis. Penelitian ilmiah tidak harus dilakukan oleh seorang akademis, misalnya dosen. Tetapi, siapa saja dapat melakukannya asalkan memenuhi persyaratan keilmiahan. Hal-hal yang diperlukan dalam pengkajian secara ilmiah adalah mengikuti alur berfikir ilmiah, yaitu: (a) ada yang menarik untuk diteliti (permasalahan), (b) ada tujuan yang ingin dicapai, (c) jelas teori tempat berpijak, dan (d) jelas metode yang diterapkan sesuai dengan jenis penelitian itu. Di samping itu, dua kriteria berpikir secaar nalar adalah logis dan analitis. Penelitian sastra memerlukan satu syarat lagi yaitu kreatif.

Pada intinya, antara kritik sastra dan penelitian sastra sangat berkaitan. Kritik sastra merupakan satu bentuk penelitian terhadap sastra. Dengan menggunakan teori sastra, teori kritik sastra dan metode-metode lainnya, merupakan bagian dari penelitian. Yang tujuan akhirnya ialah membuka suatu rahasia dari sebuah karya sastra.

Seputar Filsafat Analitik

Latar Historis

Pada abad 18-20 di Eropa berkembang dua aliran besar filsafat, yaitu idealisme dengan tradisi Jerman dan empirisme di Inggris. Kemudian pertengahan abad ke-19 masuklah idealisme ke Inggris dalam rangka perlawanan terhadap empirisme, yang disebut dengan neoidealisme atau neohegelianisme. Hal tersebut merupakan reaksi atas materialisme dan positivisme yang merajalela di Eropa pada waktu itu khususnya atas filsafat John Stuart Mill yang menguasai generasi para filosof Inggris sebelum munculnya idealisme.

Masuknya hegelianisme ke Inggris bertujuan untuk memulihkan kembali kepercayaan-kepercayaan akan kebebasan jiwa dan kehendak atau kepercayaan agama Kristen sebagai agama yang diwahyukan, yang sebelumnya selama berabad-abad telah dihilangkan kepercayaan terhadap agama oleh filsafat empirisme.

Filsafat neoidealisme tidak dapat bertahan lama, yang kemudian digantikan oleh neorealisme yang lebih kepada penyelidikan bahasa. Dalam pandangan para filosof analitik, analisis linguistik (bahasa) merupakan satu-satunya aktivitas yang sah. Tokoh yang melancarkan kritikan pedas adalah George Edward Moore. Moore berkeyakinan bahwa banyak masalah kefilsafatan sesungguhnya merupakan masalah-masalah semu, yang kiranya segera akan hilang, manakala orang secara cermat mempertimbangkan apakah sebenarnya yang dimaksud oleh masalah-masalah tersebut.

Menurut Moore, common language atau bahasa sehari-hari merupakan sumber akal sehat yang sudah mencukupi, karena itu filsafat itu filsafat harus berpihak kepada akal sehat dan alatnya adalah analisis bahasa.

Atomisme Logis Russell

Teori atomisme logis Russell didasari oleh tiga tujuan filsafat menurut Russell, yaitu: Pertama, mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana, yaitu dengan merumuskan suatu sintesis. Kedua, menghubungkan logika dan matematika. Russel menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti (eksak) dan jurusan sastra tidak dipisahkan. Ketiga, analisis bahasa.

Bahasa logika menurut Russell akan sangat membantu terhadap aktivitas analisis bahasa. Sebab ia berkeyakinan bahwa teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika akan mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas. Menurutnya, tugas dari filsafat pada dasarnya merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang fakta-fakta. Analisis logis ialah pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi apriori, yaitu kebenaran yang sudah diketahui kebenarannya sebelum dilakukan suatu percobaan atau penelitian. Sedangkan sintesis logis ialah suatu proses menentukan makna pernyataan atas dasar empirik. Russell lebih mendahulukan analisis logis ketimbang sintesis logis.

Wittgeinstein I: Meaning is picture

Pemikiran filsafat Wittgeinstein sama halnya dengan Russell yang berpijak pada bahasa logika. Menurut Wittgeinstein, bahasa logika yang sempurna adalah mengandung aturan-aturan tata kalimat (sintaksis) tertentu, sehingga dengan begitu ia mampu mencegah ungkapan-ungkapan bahasa yang tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas keberadaannya.

Teori meaning is picture menurut Wittgeinstein memiliki arti bahwa terdapat relasi yang erat antara bahasa (dunia simbol) dengan dunia fakta di luar bahasa. Dengan teori ini pula, dapat diterangkan bahwa bahasa kita bermakna, sebab yang mengandung makna hanyalah hal-hal yang dapat diverifikasi secara empirik. Adapun Wittgeinstein mengatakan, empat hal yang melampaui batas-batas bahasa, yaitu subyek, kematian, Allah, dan bahasa itu sendiri.

Positivisme Logis

Terdapat lima asumsi yang dijadikan dasar pijakan bagi konstruksi positivisme logis, di antaranya:

  1. Realitas Objektif: hanya ada satu realitas yang dapat diketahui sepenuhnya melalui pengalaman.
  2. Reduksionisme: asumsi yang menyatakan bahwa kita dapat mengetahui dunia dengan cara mereduksi (memecah-mecah) ke dalam bagian-bagian kecil.
  3. Asumsi bebas nilai: asumsi yang ada dalam sains. Antara pengamat dan yang diamati memiliki jarak, terpisah, karena itu setiap penelitian ilmiah bebas nilai.
  4. Determinisme: alam ini berada dalam lingkup aturan yang bersifat determinis atau pasti dan linier. Itulah hukum kausalitas.

Logika-empirisme: suatu proposisi dapat dikatakan bermakna, jika proposisi tersebut dapat dikatakan bermakna, jika proposisi tersebut dapat diverivikasi dengan pengalaman inderawi.

Sosiologi Sastra

METODE DAN PENDEKATAN SOSIOLOGI

Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Pendekatan yang lebih mengutamakan posisi pengarang sebagai masyarakat ini, menggambarkan karya sastra seperti sistem demokrasi. Karya sastra dibuat oleh seseorang yang merupakan anggota masyarakat. Kemudian karya sastra diperuntukkan pula untuk masyarakat. Pada akhirnya, keberadaan karya sastra dapat diakui jika suatu masyarakat dapat meresponnya dengan baik. Dalam pendekatan sosiologi, karya sastra seorang pengarang dapat memiliki nilai sosial dilihat dari keberadaannya (latar belakang) di suatu masyarakat.

A.    Pengertian Metode dan Pendekatan Sosiologi

Pada umumnya pengertian metode dan pendekatan dapat disamakan. Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, sedangkan methodos itu sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti , sesudah, sedangkan hodos berarti jalam, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat, sama halnya dengan teori, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan difahami. Pendekatan dapat didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data. Terdapat sedikit perbedaan diantara keduanya. Begitu pula jika dilihat dari tujuannya.  Tujuan metode adalah efisiensi, dengan cara menyederhankan. Sedangkan tujuan pendekatan adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan lebih dekat dengan bidang studi tertentu.

Secara etimologis, kata sosiologi berasal dari Bahasa Latin : socius dan logos. Socius artinya masyarakat dan logos artinya ilmu. Jadi, sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Sedangkan secara terminologi sosiologi diartikan sebagai pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat ; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan perubahannya. Atau menurut Atar Semi dalam bukunya Kritik Sastra, sosiologi adalah suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Adapun pengertian lain tentang sosiologi dikemukakan oleh beberapa tokoh yang dikutip oleh Philipus dalam Sosiologi dan Politik sebagai berikut :

1.      Soerjono Soekanto mengatakan sosiologi ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial, proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial dan masalah sosial

2.      Roucek dan Warren; sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar manusia dalam kelompok-kelompok

3.      Menurut Pirtien Sorokin sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial

4.      Willian F. Ogburn, sosiologi ialah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasil dari interaksi sosial adalah organisasi sosial

5.      Emile Durkheim mengatakan sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial

6.      Max Weber mengatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mencoba memahami tindakan sosial dengan tujuan mendapatkan penjelasan tentang sebab dan akibat dari tindakan sosial

7.      Menurut Stephen K. Sanderson sosiologi ialah ilmu yang mempelajari hakikat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang beratur dan berulang-ulang

8.      Selo Soemardjan mengatakan, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur sosial

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pada intinya disiplin ilmu yang memposisikan manusia sebagai makhluk sosial, karena setiap pengarang ialah masyarakat. Perilaku yang dilakukan oleh masyarakat tersebut antara lain interaksi sosial, ataupun istilah lain yang dikaji dalam sosiologi seperti struktur sosial, organisasi sosial, tindakan sosial dan gejala-gejala sosial. 

Sosiologi merupakan salah satu dari banyak bentuk pendekatan dalam memahami suatu karya sastra. Pendekatan sosiologi ataupun dalam istilah lain disebut sebagai sosiologi sastra, seperti yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya.

Dalam pendekatan sosiologi, suatu karya sastra diteliti dan dianalisis dengan cara melihat pengarang dalam sudut sosiologis, memposisikan pengarang sebagai bagian dari masyarakat. Oleh karena itu pada sosiologi sastra, masyarakat sangat berperan terhadap lahirnya sebuah karya sastra.

B.     Unsur-Unsur Pendekatan Sosiologi

Dalam pendekatan sosiologi terdapat unsur-unsur penting yang perlu diketahui. Unsur-unsur tersebut ialah sebagai berikut:

1.      Sastra

Sastra adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa. Dapat dikatakan pula bahwa yang mendorong lahirnya sastra ialah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri, untuk menaruh minat pada sesama manusia, untuk menaruh minat pada dunia realitas tempat hidupnya, dan pada dunia angan-angan yang dikhayalkan sebagai dunia nyata, dan keinginan dasar untuk mencintai bentuk nyata. Sastra dihasilkan karena adanya gambaran kehidupan nyata manusia, dan ditambah juga dengan gambaran dunia khayal manusia. Semua itu tercipta karena pencipta karya sastra –dalam hal ini pengarang- merupakan bagian dari kehidupan nyata tersebut. Suatu komunitas dimana tempat lahirnya kehidupan nyata manusia seringkali kita sebut sebagai masyarakat. Dalam pendekatan sosiologi, masyarakat memiliki arti yang sangat penting, karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pengertian sosiologi itu tak terlepas dari gelaja-gejala sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Masyarakat sangat berperan terhadap adanya suatu karya sastra. Masyarakat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.  Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai proses kenyataan sosial.

Dalam masyarakat terdapat dua unsur yang penting, yaitu manusia dan kebudayaan. Suatu kumpulan manusia tanpa adanya unsur kebudayaan tidak dapat disebut dengan masyarakat. Kebudayaan yang ada ialah kebudayaan yang sudah konvensional, atau yang telah mereka anggap sama. Karena masyarakat sangat berperan terhadap sastra, maka sastra pun tidak bisa terlepas dari kebudayaan. Karena sastra merupakan bagian dari kebudayaan.

Kebudayaan itu sendiri ialah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia. Di dalam kebudayaan terdapat aturan-aturan yang memiliki nilai kehidupan untuk mengatur dan mengarahkan manusia. Seperti yang dikemukakan oleh antropolog yang dikutip Atar Semi dalam Kritik Sastra, bahwa kebudayaan adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain.

Karya sastra sebenarnya merupakan pemikiran seseorang yang memiliki pandangan tentang dunia yang tidak pernah kita sadari. Akan tetapi, dunia tersebut memiliki nilai-nilai jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra tersebut hanya dapat terlahir dari seorang pengarang yang unggul dan peka terhadap realitas sosial budayanya. Karena seseorang yang memiliki kepekaan terhadap realitas sosial, akan memiliki pemahaman perasaan yang kompleks. Hal ini berkaitan dengan unsur pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan) dan nilai budaya.

Karya sastra menyangkut persoalan individu dan masyarakat, sehingga penokohannya pun ada yang mewakili grup sosial, ada juga yang bersifat individu. Dalam karya sastra dialektis-konstruktif, masyarakat berbeda pada pihak yang benar, dan pribadi menyatu kembali dengan masyarakat. Sebaliknya dalam sastra dialektis-destruktif, individu memberontak kepada masyarakat dan menjadi korban kekejaman masyarakat.

Karya sastra memiliki beberapa fungsi, salah satunya ialah fungsi sosial. Fungsi sosial sastra ialah dapat memberikan gambaran dan penjelasan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, kepercayaan dan lainnya. Fungsi sosial dapat terlihat ketika suatu karya sastra tumbuh berkembang di tengah masyarakat dan kebudayaan yang berkembang pula. Semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula masyarakat, kebudayaan dan tidak lupa pula dengan sastra. Ketika suatu peradaban atau kebudayaan suatu daerah berkembang, maka dari keadaan itulah sastra akan muncul sebagai penafsir dari simbol-simbol sosio-kultural.

2.      Pengarang

Pengarang ialah seseorang yang menciptakan suatu karya sastra. Sebagai anggota masyarakat ia memberikan pengaruh terhadap karya yang diciptakannya, karena para pengarang karya sastra –atau yang kita kenal dengan sastrawan- merupakan anggota masyarakat, ia memperoleh pengetahuan melalui masyarakat, dan yang terpenting pengarang menyajikan sudut pandang sesuai dengan masyarakat yang mengkondisikannya. Setiap anggota masyarakat pasti memiliki status sosial tertentu. Status sosial itu menimbulkan adanya fakta sosial yang disajikan melalui karya sastra. Pada awalnya, sebelum lahir karya sastra, fakta sosial memang sudah ada karena fakta sosial dilahirkan oleh komunitas sosial (masyarakat). Akan tetapi fakta sosial itu hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan. Melalui pengaranglah, dengan menggunakan daya imajinasinya  yang berhasil melihat fakta secara multidimensional, gejala di balik gejala.

Sudah menjadi pendapat umum bahwa pengarang ada dua macam, yaitu pengarang dengan kemampuan bakat dan pengarang dengan kemampuan pengalaman. Kedua hal tersebut saling menunjang. Karena jika hanya mengandalkan bakat tanpa adanya pengalaman terutama pengalaman dari lingkungan tempat ia hidup, maka sungguh mustahil suatu karya sastra dapat diciptakan. Begitupun sebaliknya, hanya mengandalkan pengalaman lingkungan saja tanpa bakat, maka akan mengalami kegagalan. Dengan adanya status sosial pengarang sebagai anggota masyarakat, suatu karya mendapat kesempatan untuk disajikan ke hadapan publik. Oleh karena itu, pada pendekatan sosiologi ini, lebih menekankan posisi pengarang sebagai anggota dari suatu kelompok (masyarakat), tidak hanya dilihat sebagai individu saja.

3.      Pembaca

Pembaca adalah seseorang ataupun sekelompok orang yang memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra. Suatu karya sastra dapat dinilai bagus atau tidak karena adanya respon dari banyak pembaca. Fungsi terpenting dominasi pembaca adalah kemampuannya untuk mengungkapkan kekayaan karya sastra. Pembaca jelas berbeda, baik dari segi usia, jenis kelamin, profesi, kelas sosial, dan wilayah geografis. Kesemuanya itu merupakan keragaman dalam masyarakat. Pada intinya, karya sastra diciptakan oleh seorang anggota masyarakat, dan sasarannya adalah anggota masyarakat yang lain. Ia menyimpan pesan dalam suatu karya sastra untuk diberikan kepada anggota masyarakat.

Dalam merespon karya sastra, masyarakat dibagi menjadi dua jenis, yaitu masyarakat sastra dan masyarakat umum. Pada awalnya, seorang pengarang menciptakan karya sastra karena ingin memberikan amanat (pesan) kepada masyarakat secara umum dengan menggunakan media tulisan dan bahasa. Akan tetapi, tidak semua lapisan masyarakat dapat meresponnya, karena karakter tiap anggota masyarakat berbeda. Masyarakat sastra merangkum sekalian orang yang mengembangkan kesusasteraan, memanfaatkan kesusasteraan, dan menyerap kesusasteraan. Jadi, sekalian orang yang bergerak dalam tiga bidang sastra, yakni (1) para sarjana dan ahli sastra yang bergerak dalam bidang ilmu sastra; (2) para pencipta baik penulis prosa maupun penyair yang langsung berurusan dengan penciptaan sastra, dan (3) para pencinta sastra yang menerima dan meresapkan karya sastra yang dibacanya. Melalui masyarakat sastra lah suatu karya sastra berikut pesan yang dikandungnya dapat tersampaikan kepada masyarakat umum lainnya.

Pada akhirnya, suatu karya yang lahir dari anggota masyarakat akan dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat. Inilah yang disebut sebagai filosofis sosiologi. Sastra dilahirkan oleh pengarang dan pengarang tersebut merupakan anggota masyarakat, kemudian pengarang memanfaatkan masyarakat terutama lingkungannya sebagai imajinasinya, kemudian lahirlah karya sastra yang akan dikembalikan kepada masyarakat.   

C.    Pemanfaatan Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis, yang mengutamakan antara hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan pendekatan yang lahir pada era postrukturalisme. Realisme sosialis pada dasarnya adalah sebuah metode keusastraan yang mempergunakan doktrin Marxisme. Pertama, suatu karya sastra terikat pada dan ditentukan oleh kepentingan klas sosial. Kedua, suatu karya sastra merupakan lukisan dari dan mengabdi suatu klas sosial tertentu, yang tengah berkuasa dalam masyarakat. Ketiga, pelukisan klas proletar adalah suatu penafsiran sejarah dan kemasyarakatan secara khusus. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.

1.      Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat

2.      Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat

3.      Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan

4.      Dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat sangat jelas berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.

5.      Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektifitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Akan tetapi, ada juga serangan dari kritikus sastra mengenai pengunaan pendekatan sosiologis dalam kritik sastra. Serangan tersebut dilancarkan oleh Wellek dan Warren yang mengatakan bahwa pendekatan sosiologis biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Sehingga yang mereka lakukan bukanlah kritik sastra, melainkan penghakiman yang didasarkan atas kriteria sosial politik yang sifatnya non sastra. Menurutnya penelitian semacam ini kurang bermanfaat jika memukul rata bahwa sastra adalah cerminan kehidupan, sebuah reproduksi, atau sokumen sosial. Penelitian ini akan menjadi berarti manakala terjawabnya hubungan potret yang muncul dari karya sastra dengan kenyataan sosial yang ada. Diluar serangan itu, pendekatan sosiologis dalam kritik sastra membangun suatu nilai dan makna dalam dunia sosial.


 


 

Daftar Putsaka

Andre Hardjana, Kritik Sastra: Sebuah Pengantar, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994, 

Atar Semi, Kritik Sastra, Bandung, Angkasa, 1989, 

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia
; Edisi ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2007, 

Munanadar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar; Suatu Pengantar, Bandung, PT. Refika Adikatama, 2007,

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008,

Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004,

Wellek & Austin Warren, Teori Kesusasteraan,  PT Gramedia, Jakarta, 1990, 

WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia ; Edisi ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2006,